Melayu Langkat Lebih Dihargai di Malaysia

Budaya asli Melayu Langkat ternyata lebih dihargai di negeri jiran Malaysia dibanding di rumahnya sendiri di Indonesia. 

Budayawan Melayu dari Langkat Zaenal Arifin AK menyatakan, penghargaan tersebut terlihat dari kunjungan berkali-kali para guru besar dan Pemerintah Malaysia meneliti budaya di Kota Langkat. 

“Pemerintah dan akademisi Malaysia lebih peduli pada budaya Melayu kita daripada pemerintah dan masyarakat kita sendiri,” tandas Zaenal kepada SINDO di Museum Langkat Tanjung Pura akhir pekan lalu. Padahal, Langkat merupakan pusat awal sejarah budaya Melayu yang masih terjaga keasriannya. 

Berbeda dengan Melayu di daerah lain yang sudah tercampur baur dengan suku lain. “Melayu di Medan misalnya, sudah bercampur dengan gaya bahasa Mandailing dan Batak. Jadi, tidak tampak lagi kelembutan dan kehalusannya. Sebab, yang membudayakannya justru kebanyakan di luar Melayu.” paparnya. 

Karena itu, peneliti dari Malaysia telah berkali-kali mengunjungi Langkat untuk menggali sejarah dan potensi budaya di Langkat. Sementara itu, Pemerintah Indonesia sendiri tidak memiliki kepedulian sama sekali. 

Dia juga berkali-kali diundang untuk memberikan semacam pergelaran seni, drama, dan tari (sendatari) Melayu di negeri jiran. Bahkan, dia pernah diminta memberikan pelatihan tata cara memakai kain pencak samping yang menjadi pakaian kebesaran Melayu. Ironisnya, di Langkat justru tidak ada yang peduli dengan warisan leluhur tersebut.

“Ada sembilan bentuk tata cara pemakaian kain pencak samping. Namun, yang berminat mempelajarinya justru mereka yang di Malaysia, sedangkan kita yang memilikinya tak peduli sama sekali,” tuturnya. 

Sejarawan dari Universitas Negeri Medan (Unimed) Ichwan Azhari mengakui ada kesenjangan di tataran akademisi Malaysia dengan Indonesia, khususnya Sumut. Karena itu, wajar bila peneliti negeri jiran lebih aktif melakukan penelitian di Indonesia. 

“Itu semua bergantung pada kebijakan pemerintah yang peduli pada penelitian kebudayaan bangsanya sendiri atau tidak.” tutur Kepala Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial (Pussis) Unimed itu. 

Menurut dia, gairah akademisi di Indonesia jauh berbeda dalam melakukan penelitian. Sebab, mereka masih memikirkan subsistensi hidup yang tidak mencukupi jika mengandalkan gaji sebagai akademisi. (m rinaldi khair) 

Sumber : www.seputar-indonesia.com (8 September 2008)

Foto Museum Langkat: BPS Langkat

Posting Komentar

0 Komentar