Istana Tanjong Pura

Kesultanan Langkat merupakan kerajaan Melayu yang dulu memerintah di wilayah Kabupaten Langkat, atau Sumatra Utara sekarang ini. Sampai dengan awal abad ke 19, kesultanan ini masih berada di bawah kekuasaan kesultanan Aceh (Sultan Iskandar Muda).

Menurunnya kekuatan kesultanan Aceh yang berperang melawan Belanda yang memiliki prsenjataan lebih modern dipergunakan oleh Raja Langkat untuk menjadikan Langkat sebagai daerah yang merdeka.

Pada tahun 1869 Langkat menandatangani perjanjian dengan Belanda dan Raja Langkat diakui sebagai Sultan pada tahun 1877. Sewaktu masa kolonial dulu, ada beberapa komoditi yang menghasilkan banyak pemasukan bagi Sultan Langkat yaitu antara lain: Karet, Kelapa sawit, Kopi dan Minyak.

Usaha Perkebunan orang Eropa tidak hanya banyak di daerah Deli, mereka juga merambah ke daerah Sumatra timur lainnya termasuk daerah Langkat. Pada periode tahun 1920-1930-an permintaan untuk komoditi industri karet dan minyak meningkat, hal ini mengakibatkan naiknya harga karet dan minyak saat itu. Dengan otomatis maka Sultan Langkat yang memegang konsesi tanah menjadi sangat kaya dari usaha kerjasama (kontrak) dengan perkebunan milik orang Eropa. Kilang minyak di Pangkalan Brandan menjadi salah satu penyumbang terbesar untuk pemasukan bagi Sultan Langkat.

Gambar diatas ialah Istana kesultanan Langkat di Tanjung pura yang pernah dijarah oleh rakyat sewaktu berkecamuk revolusi sosial (1945-1946) di Sumatra timur. Pada tahun 1946 keadaan suhu politik di Sumatra timur sempat memanas, orang-orang Komunis mulai menguasai partai politik dan juga membentuk laskar bersenjata diantaranya Laskar Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) dan Laskar Buruh. Secara sembunyi kaum komunis sudah mempersiapkan rencana untuk menghapuskan monarki kerajaan Melayu dan ingin mengambil alih pemerintahan kerajaan. Mereka kemudian membuat propaganda di koran-koran, radio dan pamflet serta isu-isu fitnah palsu untuk menghasut rakyat. Kaum komunis menghembuskan isu bahwa Raja-Raja Melayu itu sudah bekerjasama dengan Belanda dan mereka adalah kaum Feodal yang memeras dan menindas rakyat.

Tanpa diduga pada tanggal 3 Maret 1946, tepat jam 12 malam secara serentak rakyat dipimpin oleh orang-orang komunis dan Pesindo menyerbu istana dan kantor kerajaan Melayu dan mengumumkan bahwa kerajaan Melayu telah dihapuskan oleh rakyat Indonesia. Mulailah rumah dan istana-istana kerajaan diserang, dijarah hartanya, Raja, atau Sultan beserta para bangsawan juga pegawai kerajaan ditangkap dan sebagian dibunuh di tengah hutan atau dibenamkan di laut. Sultan Deli di Medan minta perlindungan dari British Indian Forces, Istana Maimun dikepung dan keluarga Sultan sempat melarikan diri berenang ke hutan untuk bersembunyi. Istana Maimun menjadi sasaran mereka, siang dan malam mereka menembaki istana. Sultan Deli kemudian mengungsi dengan keluarganya ke Perak (Malaysia).

Di tempat lain, istana Sultan Langkat baik yang di Tanjung Pura maupun yang di kota Binjei diserbu dan dirampok. Para bangsawan Langkat ditangkap dan sebagian besar dibunuh dengan kejam termasuk pujangga besar Tengku Amir Hamzah juga puteri-puteri Sultan Langkat diperkosa di depan mata beliau. Tengku-tengku di Asahan yang laki-laki semua dibunuh termasuk isteri Tengku Musa dan anaknya. Di kesultanan Serdang, karena Sultan Sulaiman Shariful Alamshah sejak dahulu terkenal anti-kolonialisme Belanda dan juga banyak keluarga kesultanan yang duduk di dalam partai politik dan menjadi TNI, kaum komunis hanya dapat mengerahkan rakyat untuk berbaris demonstrasi meminta agar kerajaan Serdang menyerahkan kekuasaan pemerintahan lokal kepada pemerintah R.I.

Demikian sekilas tentang revolusi sosial yang dikutip dari tulisan Tengku Luckman Sinar, Sejarawan Melayu.

Sumber: Blog Historiaku. Baca juga Kesultanan Langkat (English Version) di sini.

Posting Komentar

0 Komentar