Oleh: Hariswan
Sekitar 43 tahun yang lalu atau tepatnya pada tahun 1965, di mana pada saat itu kami masih tinggal di perkebunan karet milik perusahaan Amerika; Good Year di Sumatra Utara, terjadilah bencana angin puting beliung yang sangat dahsyat yang kekuatannya mampu menerbangkan atap rumah-rumah penduduk di sekitanya, merobohkan sejumlah bangunan dan juga menumbangkan pohon-pohon berukuran raksasa sampai ke akar-akarnya. Namun peristiwa “ajaib” yang kami sekeluarga alami, kuanggap lebih dahsyat dari bencana angin topan “puting beliung” itu sendiri.....
Pada hari itu, langit tampak gelap.., awan mendung yang menggumpal diselingi dengan bunyi guntur sesekali, menandakan bahwa sebentar lagi hujan akan turun. Tiupan angin hari itu terasa lebih kuat dari biasanya. Sesekali terdengan bunyi jendela terhempas angin dan karena rumah kami memiliki banyak jendela maka kami tiga kakak beradik yang sudah beranjak dewasapun sibuk berbagi tugas untuk menutup semua jendela yang masih terbuka.
Ibuku yang saat itu berusia 37 tahun dan sedang hamil tua, sementara adik kami NS yang sudah enam tahun menyandang status anak bungsu, sebentar lagi akan punya adik baru.
Di halaman belakang, kulihat abangku SM tampak sibuk berlarian kian kemari untuk mengumpulkan "ayam Bangkok” kesayangannya yang berjumlah 67 ekor jantan dan betina. Tak tega melihatnya sibuk sendiri, aku dan si bungsupun segera turun tangan ikut membantu mengumpulkan dan menggiring semua ayam ternak peliharaannya masuk ke dalam salah satu dari “kamar khusus pembantu” berukuran 3 x 4m2 yang karena kebetulan masih kosong, maka oleh abangku SM, kamar itupun kemudian dialih-fungsikan menjadi “kandang ayam”, lengkap dengan lampu dan tempat bertengger para ayam jantan kesayangannya. Memang kalau soal berternak dan berkebun, abangku yang satu ini memanglah handal. Ayam ternak sebanyak itu pada mulanya hanya sepasang jantan dan betina, tapi berkat ketekunan, perhatian dan kesabarannya, dari beberapa butir telur yang di-erami induknya, menetaslah anak-anak ayam yang sehat. Demikianlah seterusnya hingga mencapai jumlah sebanyak itu. Karena pada masa itu belum banyak yang menjual pakan ternak, maka sebagai gantinya abangku SM meramu sendiri makanan favourite ayamnya berupa jagung bercampur dedak ditambah remah-remah nasi yang berhasil dia kumpulkan dari satu pinggan ke pinggan lainnya.
Rumah yang kami tempati adalah rumah inventaris milik syarikat perkebunan karet tersohor dunia; Good Year Sumatra Plt Co. yang diperuntukkan khusus bagi para high level staff dan karena bapak kami Syahruddin, baru saja di promote sebagai Assistant Personnel Manager di syarikat itu maka beliaupun berhak menempati rumah itu.
Menurutkan arah mata angin, pintu masuk rumah ini menghadap ke utara, di mana terletak jalan utama yang pada pagi hingga petang hari ramai dilewati berbagai kenderaan yang berlalu lalang.
Ukuran rumah kami cukup luas dengan Lebar 12 x 20m2. Didalamnya terdapat dua bilik besar berukuran 6x8M2. lengkap dengan bilik mandi. Satu bilik utama ditempati oleh Bapak dan Ibu kami, sedangkan bilik yang satu lagi dihuni oleh kami empat bersaudara karena abang tertua kami yang juga berinisial NS sedang belajar dan tinggal satu bilik dengan sepupu favoritnya HMS di kota Medan. Di bagian tengah terdapat ruang tamu dan ruang makan yang juga cukup besar, sedangkan bagian belakang dari rumah utama ada kitchen room yang menjadi “ruang kerja” ibunda kami.
Di bagian luar gedung utama, ada empat bilik berukuran sedang (3x4m2). Yang satu bilik sudah di “kuasai sepenuhnya” oleh abang kami SM dan difungsikan sebagai bilik tidur pribadinya..., maklumlah karena dalam usianya yang sudah 21 tahun maka dia perlu sedikit “privasi”. Satu bilik disebelah kirinya dicadangkan sebagai bilik pembantu rumah tangga sedangkan satu bilik disebelah kanannya adalah bilik tetangga kesayangan abangku SM yang tak lain adalah kandang ayamnya. Sedangkan 1 bilik lagi khusus diperuntukkan sebagai pantry dan gudang penyimpanan.
Di halaman belakang rumah kami yang menghadap ke selatan, tumbuh sejenis pohon beringin bergetah merah yang sudah berumur puluhan tahun. Akar-akar gantungnya yang tak terhitung banyaknya berjuntaian hanya beberapa centimeter diatas permukaan tanah, sedangkan batang pohonnya berdiri tegak menjulang langit dihiasi dengan tumpukan dahan dan ranting, dari yang terkecil berdiameter sekitar 60 cm sampai yang terbesar berdiameter 320cm. Salah satu diantara dahan kayu yang terbesar, dengan diameter lebih kurang 300cm x panjang 20m, tumbuh sejajar dan menggantung setinggi lebih kurang 12 meter dan posisinya berada tepat diatas atap rumah kami yang menghadap ke arah utara. Secara logika, dengan ukuran, berat, panjang serta tingginya dahan tersebut, maka sekiranya patah, maka dahan itu niscaya akan langsung jatuh menimpa rumah kami dari ujung ke ujung, dan apabila itu terjadi, tak pelak lagi, rumah itu pasti akan hancur berantakan karena tak akan kuat menerima beban hantamannya.
Pukul 4:20 petang, seperti biasa bapakku sudah tiba di rumah karena antara jawatan tempat beliau bekerja dengan rumah kami hanya berjarak 800 meter saja sehingga pulang-balik kantor beliau lakukan dengan berjalan kaki, salah satu jenis olahraga ringan yang beliau sukai.
Setelah mengambil wudhu, beliau lalu mendirikan shalat ashar dengan khusuq dan tartils seperti biasa. Pada saat beliau dengan khusuq shalat, mendadak turunlah hujan deras disertai hempasan angin kencang yang menderu-deru yang suaranya semakin lama semakin keras. Kami kakak beradik yang merasa ketakutan berkumpul mengelilingi ibunda kami yang juga kelihatan sangat cemas. Hujan badai sedang terjadi!
Di tengah suasana badai yang begitu menakutkan, ayahku tetap khusuk dalam sholatnya seolah tak terjadi apapun di sekelilingnya. Selesai salam, tanpa membaca wirid dan berzikir yang dengan istiqamah biasanya ia lakukan, kulihat Bapak langsung bangun dari duduk tahiyatnya dan segera berdiri lagi menghadap qiblat. Saat beliau mengangkat kedua tangannya seolah bertakbiratul ihram itu aku mengira beliau akan melalukan shalat sunat ba’da ashar atau shalat sunat lainnya.., tapi ternyata beliau segera melantunkan Adzan dengan segenap perasaannya yang terdalam. Anehnya, saat mendengarkan suara adzan yang beliau lantunkan dengan suaranya yang melengking tinggi namun indah itu, hati kami merasa begitu damai dan tenteram dan rasa takut yang tadinya begitu mencekam, seolah hilang begitu saja..., padahal, di luar hujan deras disertai angin kencang yang menderu-deru bukannya mereda akan tapi malah kian menjadi-jadi!
Seusai adzan yang pertama, beliau kemudian merubah arah berdirinya serta menghadapkan wajahnya ke arah utara dan kembali melantunkan Adzan dengan kekhusukan yang sama. Usai Adzan kedua, Adzan yang ketiga dilakukan dengan wajah menghadap ke arah timur, sedangkan yang terakhir kali masih sempat kulihat beliau ber-adzan dengan wajah menghadap ke arah selatan.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengan suara keras dari petir yang menyambar..’Blaa..rr!” ..., lampu listrik langsung padam dan keadaan di dalam rumah seketika menjadi gelap gulita. Belum lagi hilang rasa panik kami karena padamnya lampu, terdengar suara berderak-derak sangat keras tepat di atas atap rumah kami dan tiba-tiba saja terdengan suara berdentum keras seperti jatuhnya benda raksasa menghempas bumi...., “kraak”, “krak” dan “buuuum....mm!!!”.
Suara jatuhnya benda besar itu begitu dahsyatnya sehingga kami menduga pastilah salah satu dahan kayu beringin tua yang cukup besar telah patah tersambar petir dan jatuh ke bumi. Namun tak seorangpun di antara kami yang pernah mengira bahwa benda jatuh yang menerbitkan suara begitu dahsyat menghantam bumi itu adalah dahan terbesar yang berada tepat diatas rumah kami. Sebab kalau itu yang terjadi, maka niscaya kami semuanya mungkin saat ini hanya tinggal nama di batu nisan.
Tak berapa lama setelah kejadian itu hujan dan angin kencang di luar sanapun berangsur-angsur reda dan akhirnya berhenti sama sekali, namun karena listrik masih padam dan keadaan di luar rumah gelap gulita, maka rasa ingin tahu kami mengenai benda apakah yang telah jatuh menimpa halaman rumah kami itupun terpaksa kami pendam menunggu saat datangnya pagi esok hari.
Ketika suasana sudah semakin tenang, dan lilin-lilin pun sudah terpasang, saat itulah aku bertanya kepada ayahandaku tentang alasan mengapa beliau ber-adzan sebanyak empat kali dan mengapa harus merubah arah menghadap sebanyak itu pula? Dengan senyum beliau menjawab:
“Ketahuilah nak, bahwa yang dapat merubah taqdir hanyalah doa khusuq kita kepada sang penentu taqdir itu sendiri , yaitu Allah SWT. Sebagai manusia biasa, Bapak juga tentu merasa takut dan ngeri mendengar suara hujan deras dan angin kencang yang menderu-deru tadi. Tapi suasana yang seperti inilah yang justru menjadi saat yang tepat bagi kita untuk memohon hajat apa saja kepada Allah”.
Belum paham dengan ucapannya akupun kembali bertanya, “Mengapa bisa begitu pak?” Dengan sabar beliau menjawab, “Ingatlah, bahwa salahsatu syarat dikabulkannya do’a adalah bila disertai rasa harap dan takut (khauf) dan bila dilihat dari suasana hati, tidakkah tadi kita semuanya ada dalam ketakutan yang sangat mencekam? Nah, syarat pertama sudah terpenuhi! Selain itu ada saat terkabulnya do’a seperti: pada saat teraniaya atau pada saat kita sedang sujud dalam sholat ataupun pada saat turun hujan!. Jadi, ketika sholat ashar tadi, yang bertepatan dengan turunnya hujan dan adanya rasa takut mendengar suara angin kencang menderu-deru itu, di dalam sujud Bapak berdo’a dengan sungguh-sungguh kepada Allah Al Malikuul Salaam, memohon keselamatan kita sekeluarga dan semoga kita semuanya berikut saudara-saudara kita para ikhwanul muslimin, dapat terhindar dari bala bencana dan malapetaka”.
Bapak diam sebentar, lalu melanjutkan: “Adapun ikhwal empat kali adzan yang menghadap ke empat penjuru angin, sebenarnya itu adalah ajaran dan petuah dari Guru Bapak semasa dulu belajar mengaji di Tanjung Pura bersama pamanmu Mas Thahar. Guru Bapak berpesan, bahwa apabila Bapak sedang berada dalam keadaan terancam bahaya namun tak berdaya, maka kumandangkanlah adzan sebanyak dan semampunya serta serahkanlah dirimu dalam perlindunganNya”.
“Ketahuilah bahwa Allah SWT adalah pemilik alam semesta, delapan penjuru angin tunduk dibawah perintahnya dan bagi hambaNya yang banyak berzikir serta mengamalkan amal sholeh, maka Allah akan mengirimkannya nikmat rizqi dan pertolonganNYA dari arah yang tak disangka-sangka. Begitu pula sebaliknya bagi orang-orang yang ingin diuji keimanan dan kesabarannya, Allah juga akan mengirimkan cobaannya dari arah yang tak disangka. Jadi, itulah sebabnya Bapak tadi ber-adzan mengikuti arah mata angin tadi. Sebab Bapak tidak tahu dari arah mana cobaan Allah berupa bencana angin puting beliung ini akan datang menerpa kita. Kalau dia datang dari arah qiblat Bapak sudah memohon kepada Allah agar menutup pintu masuknya, begitu juga kalau dia datang lewat utara, timur maupun selatan”. Setelah ikhtiar itu, barulah boleh tawwakal dan berserah diri kepada ketentuanNYA” sebab taqdir Allah tidak mungkin ditolak! Tapi seperti Bapak katakan tadi, yang dapat kita lakukan hanyalah dengan khusuk berdoa mohon perlindunganNYA karena hanya do’alah yang dapat merubah taqdir seseorang”. Mungkin apa yang barusan terjadi merupakan teguran atau peringatan dari Allah bagi kita semua agar senantiasa ingat dan tunduk akan kekuasaan dan kekuatanNYA."
"Allah tidak akan menghukum seseorang kecuali dia sudah melampaui batas dan tidak mau bertaubatan nashuhah, sebabnya adalah karena “Rakhmat Allah selalu mendahului murkaNya! Karena itu percayalah, bahwa di balik semua peristiwa ini, pasti akan ada hikmahnya untuk kita semua!" Sambil menghirup kopi hangat racikan ibuku, beliau balik bertanya padaku: “Apakah kau sudah fahami apa yang baru bapak katakan?” Karena masih belum paham betul, aku hanya bisa mengangguk ragu. Memaklumi bahasa tubuhku, beliaupun melanjutkan; “Saat ini kau baru berusia 15 tahun. Masih terlalu muda untuk memahaminya. Tapi Bapak percaya bahwa satu saat nanti kau pasti akan mengerti hakekat semua ini. Sekarang ini cukuplah kalau kau camkan saja apa yang Baru bapak sampaikan ini dengan hati-hati dan amalkanlah dengan sabar dan dengan penuh keyakinan, niscaya kelak kau akan mendapat keselamatan dunia akhirat!” Kembali aku mengangguk-angguk seperti anak ayam mematuk beras!
Sambil berdiri dari tempat duduknya beliau berkata; “Sekarang sudah tiba waktunya shalat Isya, mari kita shalat dulu, selepas itu boleh kita sambung cerita lagi!”
Seusai shalat berjemaah, kamipun bersantap bersama tanpa ada satu anggota keluargapun yang absen, sebab bapakku tidak akan mau bersantap sebelum semua anggota keluarganya lengkap duduk di kursi makan masing-masing. Seusai makan malam, kantukpun datang tak tertahankan. Setelah mencium tangan kedua orang tuaku, akupun pamit undur diri, masuk bilik dan langsung terlelap ke alam mimpi.
Keesokan harinya, selepas shalat subuh, rasa penasaran yang sama telah membawa langkah kami semua ke luar rumah sebab saat kejadian malam tadi, keadaan diluar benar-benar gelap gulita sehingga “misteri” tentang “UFO” (unidentified Fallen Object) yang jatuh semalam masih belum sempat terkuakkan!
Begitu kami semuanya berada di luar rumah, apa yang terpampang di depan mata kepala kami semua sungguhlah luar biasa dan sekaligus ajaib! Betapa tidak? Benda jatuh yang menimbulkan suara dentuman sangat dahsyat malam tadi ternyata adalah batang dahan kayu terbesar yang berasal dari pohon beringin merah yang tumbuh di halaman belakang rumah kami.
Ukuran batangnya lebih kurang tiga kali pelukan tangan orang dewasa sedangkan panjangnya..., hampir sama dengan panjang rumah kami. Batang pohon itu tergeletak diam kira-kira 6 meter dari teras belakang rumah kami dan posisinya adalah sejajar dengan panjang rumah yaitu, pangkal batang mengarah ke selatan sedangkan pucuknya menghadap ke utara. Ketika kami mendongak keatas untuk mereka-reka asal dahan pohon yang mana satu dari sekian banyak dahan besar yang sudah jatuh itu maka tanpa sadar meluncurlah dari mulut kami ucapan..., “MasyaAllah”., “Subhanallah” ...“Allahu Akbar”.
Perasaan kami semua yang ada di sana benar-benar tergoncang!. Betapa tidak? Ternyata dahan besar yang jatuh sejajar dan kini tergeletak diam di teras samping kanan rumah kami itu adalah...dahan besar yang tadinya tumbuh dan menggantung persis diatas atap rumah kami. Tak dapat kami bayangkan apa yang akan terjadi seandainya dahan itu benar-benar menimpa rumah kami...! Yang lebih aneh lagi..., jatuhnya dahan kayu sebesar itu tidak menimbulkan kerusakan yang parah kecuali hanya mematahkan beberapa batang bambu pagar rumah seolah-olah ada satu kekuatan ghaib yang mengangkat dan memindahkannya dengan lembut dan hati-hati ke teras rumah sehingga kami semua terhindar dari bencana. Logikanya, apabila dilihat dari ukuran besarnya dahan pohon itu serta posisi jatuhnya yang sejajar dengan posisi rumah kami serta mengkaitkannya dengan kekuatan hempasan dari angin puting beliung semalam, agaknya, mustahillah kami bisa selamat, namun pada kenyataannya, itulah yang terjadi! percayalah bahwa “tiada yang mustahil bagi Allah!”
Setelah cukup puas mengamati tempat kejadian, ayah mengajak kami semua masuk kerumah untuk bersujud syukur dilanjutkan dengan ber-shalat tasbih dua rakaat berjemaah. Dalam munajatnya beliau tak henti-hentinya mengucapkan doa tasyakur yang kami amini sebanyak doa yang beliau panjatkan.
Tak lama kemudian, entah dari mana datangnya, tiba-tiba rumah kami mulai ramai didatangi para tetangga yang merasa takjub dengan kejadian itu. Mereka merasa tak habis pikir bagaimana mungkin dahan sebesar itu yang posisinya berada tepat diatas atap rumah bisa terlempar begitu saja sejauh beberapa meter dari tempat asalnya sehingga tidak sampai menimpa rumah kami. Mereka semua merasa ikut bersyukur atas terhindarnya kami sekeluarga dari musibah.
Hari itu, bapakku tetap bekerja seperti biasa, begitupun dengan kami yang bersekolah.
Sepanjang jalan menuju sekolah, aku melihat banyak pohon-pohon yang bertumbangan dan salah satunya telah menimpa kabel listrik. Mungkin inilah penyebab padamnya lampu dirumah kami tadi malam. Dari cerita teman-teman sekolahku, kuperoleh keterangan bahwa akibat angin puting beliung kemarin petang, banyak rumah-rumah penduduk yang tak lagi memiliki atap sebab penutup atap yang kebanyakan dibuat dari lembaran seng, hampir sebagian besarnya telah hilang diterbangkan oleh angin badai semalam.
Sepulang dari sekolah, kulihat ada beberapa orang pekerja sedang sibuk membersihkan halaman rumah kami yang kejatuhan dahan pohon besar semalam. Ada yang sibuk memotong dahan itu dengan mesin gergaji, ada yang sedang memotong ranting dahan yang lebih kecil dan ada pula yang membersihkan daun daun yang berserakan. Karena besar dan panjangnya dahan itu, pekerjaan “bersih-bersih” itu barulah tuntas setelah tiga hari.
Kejadian yang baru saja menimpa rumah kami telah memberikan bekas yang mendalam di lubuk hatiku. Sekarang barulah aku memahami apa yang disampaikan bapakku tadi malam tentang “takdir yang tak dapat ditolak”, namun dapat dirubah dengan do’a yg khusuk Lillahi Ta’ala. Jatuhnya dahan besar yang patah entah disebabkan oleh hantaman petir ataupun tak kuat menahan hempasan angin kencang semalam, mungkin adalah suatu taqdir, akan tetapi “perubahan” arah jatuhnya dahan yang tidak jadi menimpa atap rumah kami (nyaris saja), tapi terlempar ke samping sejauh 6 meter dan akhirnya jatuh dihalaman rumah kami sehingga kami sekeluarga tetap selamat, mungkin terjadi berkat lantunan adzan serta do’a khusuk bapakku semalam. Wallahu’alam.!
Tak lama sesudah kejadian “ajaib” itu, ibunda kami melahirkan seorang putri mungil berkulit putih yang diberi nama MM, yang pada saat itu merupakan satu-satunya princess dalam keluarga kami. Sebab sebelum kelahirannya, keenam orang kakaknya semuanya adalah dari jenis kelamin lelaki. Ayah bundaku kelihatan sangat bahagia karena putri yang mereka idamkan selama bertahun-tahun akhirnya telah lahir. Tak henti-hentinya kami bersyukur karena Allah SWT telah memberi kami anugrah yang banyak. Pertama terhindar dari marabahaya tertimpa dahan kayu, disusul dengan karunia kelahiran seorang adik perempuan yang sehat dan puncaknya adalah, anugrah promotion dari manajemen NV Goodyear Sum.Plt kepada bapakku untuk menjabat kedudukan baru sebagai Personnel Manager di perusahaan tempatnya bekerja. Karena jabatan barunya itu, bapakku mendapatkan kembali fasilitas rumah baru yang jauh lebih besar dan nyaman dan harus ditempati sesegera mungkin sehingga kami tak perlu merasa khawatir atau waswas akan tertimpa dahan kayu lagi. Mungkin inilah hikmah dan nikmat yang ALLAH berikan kepada kami sekeluarga dan atas semua karuniNya kami hanya mampu mengucapkan: “Alhamdulillah, wa syukurillah, wa ni’matullah”.
“Nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang hendak kamu dustakan?”
(QS Ar-Rahmaan)
0 Komentar