Lahirnya Kerajaan Di Pesisir Sumatera Timur

Oleh T. Luckman Sinar Basyarsyah II

Pada abad ke-17 sukubangsa Karo (Karo Jahe) turun ke wilayah pesisir dan mendirikan urung (negeri) di Langkat, Deli, dan Serdang. Dalam kurun ini juga lahir beberapa kerajaan kecil di pesisir Sumatera Timur.

Deli dan Serdang
Salah seorang panglima Sultan Iskandar Muda Aceh bernama Sri Paduka Gocah Pahlawan, bergelar Laksamana Khoja Bintan. Ia menjadi Wali Negara di Deli. Panglima Khoja Bintan berusaha meningkatkan wibawanya untuk memperlancar proses Islamisasi (Melayunisasi) dengan jalan mendekati empat raja urung di Deli yang berasal dari Karo dan beragama Islam. Ia juga menikah dengan adik Datuk Sunggai, yaitu raja urung yang terkuat pada masa itu. Sebagai hadiah pernikahan, ia diangkat sebagai Panglima Kerajaan Bintan kawasan pesisir Deli dan berdudukan sebagai wakil Aceh. Ia menjadi primus inter pares di antara raja-raja itu. Pada masa pemerintahan putranya, Tuanku Panglima Perunggit, Aceh menjadi lemah, terutama sejak pemerintahan dipegang oleh raja-raja wanita (mungkin mengikuti jejak negeri-negeri di Sumatera Barat). Kesempatan ini digunakan Deli untuk memproklamasikan kemerdekaannya dari Aceh pada tahun 1699 (Sinar, 1980a). Kemudian Deli berhubungan dengan VOC di Betawi dan Melaka.

Pada zaman pemerintahan putra Perunggit, yaitu Tuanku Panglima Paderap, pada awal abad ke-18 terdapat ancaman dari Siak. Pemerintahan Imperium Melayu Riau-Johor mulai lemah di bawah kekuasaan Sultan Mahmudsyah II yang terbunuh pada tahun 1699 (dan diberi gelar Marhum Mangkat Di Julang). Sejak itu Bendahara Tun Habib Amudi Nadji menjadi raja Johor dan keturunan raja-raja Melaka putus. Peristiwa ini menimbulkan kekacauan yang lebih besar, terutama dengan munculnya Raja Kecil dari Minangkabau melalui Siak yang mengaku dirinya sebagai putra Marhum Mangkat Di Julang. Dia berhasil merebut ibukota Johor dan memproklamasikan dirinya dengan gelar Sultan Djalil Rahmatsyah pada 21 Maret 1717.

Dengan meninggalnya Panglima Paderap di Deli, terjadi perang saudara di antara ke-4 putranya, sehingga putra mahkota (bungsu) terpaksa mengungsi ke wilayah Serdang dan mendirikan Kerajaan Serdang pada tahun 1720, sedangkan kakaknya, Panglima Gandar Wahid menjadi raja di Deli. Saat pemerintahan putra Gandar Wahid, yaitu Tuanku Amal, Siak menaklukkan Deli (1780), kemudian Amal diangkat menjadi Sultan Panglima Mangedar Alam Deli dengan akta Sultan Siak tertanggal 8 Maret 1814. Sultan Amal pernah ditemui John Anderson yang berkunjung ke Deli pada tahun 1823 (Edinburgh, 1826: 305–306; Sinar, 1970a: 33–47).
Di Serdang, keturunan Tuanku Umar Kejeruan Junjungan melebarkan wilayahnya ke Denai, Perbaungan, Serbajadi, Percut, Padang, Bedagai, dan Senembah, sampai ke pegunungan yang dihuni orang Karo dan Simalungun. Pada zaman cucunya, Sultan Thaf Sinar Basyarsyah (1790–1850), Serdang merupakan kerajaan yang makmur dan tenteram, seperti kesan John Anderson ketika berkunjung ke wilayah tersebut, pada tahun 1823.

Langkat
Kerajaan Langkat didirikan oleh Dewa Syahdan yang konon datang dari arah pantai dan naik ke gunung, dan kemudian diangkat menjadi anak boru Raja Karo Sibayak Kuta Buluh. Dari sana ia kembali ke Deli Tua. Putranya bernama Dewa Sakti dan bergelar Kejeruan Hitam. Putra Dewa Sakti, Marhom Guri, dimakamkan di Buluh Cina, Hamparan Perak (bekas wilayah Guri). Nama itu menunjukkan keterkaitannya dengan Kerajaan Haru (Guri) yang terletak di sekitar wilayah ini. Adik perempuan Dewa Sakti juga bernama Putri Hijau. Keduanya hilang dan tidak diketahui rimbanya.

Pada pertengahan abad ke-18, putra Raja Kahar yang bernama Baduzzaman berhasil memperluas Kerajaan Langkat. Raja Baduzzaman mempunyai empat putra, yaitu Kejeruan Tuah Hitam, Raja Wan Jabar (Selesai), Raja Syakban (Pungai), dan Raja Indera Bungsu yang berdiam di Kota Dalam. Keempatnya memerintah dengan otonomi luas di bawah pimpinan Kejeruan Tuah Hitam sampai abad ke-19.

Sejak tahun 1780 Langkat sudah diduduki Siak. Untuk menjamin kesetiaannya, putra Kerajaan Hitam yang bernama Nobatsyah dan putra Indra Bungsu yang bernama Raja Ahmad dibawa ke Siak dan masing-masing dinikahkan dengan putri Siak, yaitu Tengku Fatimah dan Tengku Kanah. Raja Ahmad mempunyai seorang putra yang bernama Tengku Musa. Pada awal abad ke-19 Nobatsyah dan Raja Ahmad kembali ke Langkat untuk memegang pemerintahan dan masing-masing bergelar Raja Bendahara Kejeruan Jepura Bilad Jentera Malai dan Kejeruan Muda Wallah Jepura Bilad Langkat. Menurut John Anderson yang melawat ke Langkat pada 1823, beberapa tahun kemudian terjadi perang saudara di antara mereka. Kedua raja itu tewas terkena racun. Raja Langkat digantikan oleh Tengku Pangeran Musa dari Siak.

Asahan, Bilah, Kotapinang, dan Panai.
Raja-raja Asahan, Bilah, Kotapinang, dan Panai mempunyai hubungan keluarga. Menurut cerita, Batara Sinomba dari Minangkabau menikah dengan adiknya sendiri (mungkin maksudnya satu marga, yaitu Nasution). Batara Sinomba dan istrinya diusir dan sampai di Tapanuli Selatan. Suami istri tersebut menetap di Pinang Awan, dekat Sungai Barumun. Batara Sinomba dirajakan di Air Merah. Mereka kemudian mempunyai dua putra dan seorang putri yang bernama Siti Onggu.

Batara Sinomba menikah lagi dan istri mudanya berkeinginan agar putranya ditunjuk sebagai pengganti ayahnya. Oleh karena itu, istri kedua berusaha mengusir putra Batara Sinomba dari istri pertama. Usahanya berhasil. Dua putra Batara Sinomba dari istri pertama dendam dan menemui rombongan Sultan Aceh yang kebetulan lewat di situ. Tentara Aceh tersebut ternyata mempunyai masalah dengan Batara Sinomba, sehingga akhirnya Batara Sinomba terbunuh, kemudian diberi gelar Marhum Mangkat Di Jambu.

Siti Onggu dibawa orang Aceh dan diperistri Sultan Aceh. Lama-kelamaan putra Batara Sinomba dari istri pertama rindu dan ingin mengetahui nasib Siti Onggu. Oleh karena itu, mereka pergi ke Asahan menemui Haro-haro yang pandai mengadu ayam. Mereka bertiga pergi ke Aceh untuk menebus Siti Onggu. Sultan Aceh mengajak mereka untuk mengadu ayam. Ayam Sultan kalah dalam pertandingan dan terpaksa melepaskan Siti Onggu yang sedang hamil tua. Siti Onggu boleh dibawa pulang dengan syarat apabila bayi yang lahir laki-laki harus menjadi raja di Asahan. Setelah mereka kembali, Siti Onggu melahirkan seorang putra yang kemudian dirajakan di Asahan dengan gelar Sultan Abdul Jalil (Marhum Mangkat Di Tangkahan Sitarak).

Selanjutnya Siti Onggu menikah dengan Haro-haro. Setelah masuk Islam, Haro-haro bernama Raja Bolon. Dari pernikahan ini lahir putranya yang bernama Abdul Karim, yang disebut bangsawan Bahu Kanan. Haro-haro menikah lagi dengan putri Raja Siman Golong dan memperoleh dua putra, masing-masing bernama Abdul Samad dan Abdul Kahar. Keturunan mereka disebut bangsawan Bahu Kiri.

Cicit Sultan Asahan yang bernama Sultan Abdul Jalil II pernah membantu Raja Ismail dalam merebut tahta Siak dari tangan Raja Alam (1771). Setelah berhasil, maka Siak memberinya gelar “Yang Dipertuan”. Berdasarkan gelar ini, Sultan Yahya dari Siak dalam suratnya kepada Gubernur Belanda di Melaka pada tahun 1791 menyebutkan bahwa Asahan adalah jajahannya dan ini ditentang oleh Asahan sendiri.

Cucu Sultan Abdul Jalil II adalah Raja Musa dan Raja Ali. Raja Musa menjadi raja di Asahan. Ketika Raja Musa mangkat, putranya masih dalam kandungan. Oleh karena itu pemerintahan digantikan oleh adiknya, Raja Ali. Raja Ali mempunyai seorang putra yang bernama Husin dan seorang putri yang bernama Raja Siti. Raja Siti menikah dengan Sultan Deli dengan mas kawin daerah Bedagai, dan putra yang lahir dari pernikahan tersebut harus menjadi raja di Bedagai.

Sultan Musa mempunyai putra bernama Raja Ishak. Ketika Sultan Musa mangkat, di Asahan pecah perang saudara antara Raja Husin (putra Sultan Ali) dengan Raja Ishak (putra Sultan Musa). Situasi ini ditemui John Anderson ketika ia berkunjung ke Asahan pada tahun 1823. Perang saudara itu diakhiri dengan perdamaian. Dalam perdamaian ditetapkan bahwa Raja Husin menjadi sultan dan Raja Ishak menjadi Rajamuda Asahan merangkap Raja Kualuh-Leidong.

Pada tahun 1835, Sultan Ismail dari Siak menyerang Asahan. Angkatan perang Siak yang dipimpin oleh Tengku Panglima Besar berhasil menundukkan Asahan. Pengganti Sultan Husin adalah putranya, yaitu Sultan Ahmadsyah (1854). Sultan Ahmadsyah ini terkenal gigih dalam melawan Belanda dan akhirnya dibuang ke Ambon oleh Belanda pada tahun 1865.

Seperti sudah disinggung di atas, ketiga putra Marhum Mangkat Di Jambu yaitu Raja Indera, Raja Segar, dan Raja Awan masing-masing diberi kekuasaan dan wilayah sendiri. Raja Indera sebagai putra tertua menetap di Kumbul dan menjadi zuriat Raja Panai dan Raja Bilah. Raja Segar menetap di Sungai Tunas dan Raja Awan menjadi zuriat Raja-raja Kotapinang.

Ketika pasukan Siak ke Panai dan Bilah pada tahun 1835, raja-raja tersebut tunduk dan diharuskan membantu menyerang Asahan. Akan tetapi Panai membantu setengah hati, sehingga serangan Siak gagal. Namun, tentara Siak sempat masuk ke Panai dan Raja Sultan Mangedar Alam lari ke Kotapinang. Raja Kotapinang, Sultan Busu, berikrar dengan Raja Panai menentang Siak, tetapi ternyata Kotapinang ingkar janji, sehingga Panai terpaksa meminta ampun dan membayar upeti sebesar $2.000 pada Siak.


  1. Kerajaan-Kerajaan Melayu Tua
  2. Pertentangan Aceh, Portugis, dan Imperium Melayu
  3. Lahirnya Kerajaan Di Pesisir Sumatera Timur
  4. Negeri-Negeri Batubara
  5. Wilayah Rokan Dan Timbulnya Perang Padri
  6. Pertentangan antara Inggeris dan Belanda
  7. Agresi Belanda Ke Sumatera Timur
  8. Reaksi Atas Pembukaan Tanah Perkebunan Di Deli
  9. Sistem Pemerintahan di Sumatera Timur
  10. Situasi Beberapa Kerajaan Di Sumatera Timur
  11. Sistem Peradilan Kerajaan Melayu Jaman Belanda
  12. Orang Melayu Dan Rajanya

Sumber: Khalik News


Posting Komentar

0 Komentar