Sistem Peradilan Kerajaan Melayu Jaman Belanda

Oleh T. Luckman Sinar Basyarsyah II

Kepala pemerintahan di kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera mempunyai berbagai gelar, di antaranya adalah “Sultan” (Siak, Deli, Langkat, Asahan), yang pengangkatannya sudah ada sebelum Belanda datang, baik diperoleh dari Siak ataupun Aceh, “Sutan” (Bilah, Panai, Tambusai), “Yang Dipertuan” (Kotapinang, Gunung Sahilan, Kualah, Kunto Darussalam, Empat Kota, Rokan Hilir, Rambah), “Datuk” (Limapuluh, Pesisir, Suku Dua, Tanah Datar, Singingi), atau sekadar “Raja” dan “Tengku Besar” (Pelalawan). Di bawah Raja ada “Raja Muda” (Yang Dipertuan Muda), tetapi sejak akhir abad ke-19 jabatan ini dihapus oleh Belanda. Penghapusan diawali di Siak, kemudian di seluruh Sumatera Timur. Belanda juga menghapus Lembaga Orang Besar (Raad van Rijksgroten) secara perlahan-lahan, karena Belanda menginginkan hanya ada penguasa tunggal di setiap kerajaan agar Belanda lebih mudah mengaturnya.

Pada zaman dahulu, raja-raja Melayu tidak dapat bertindak semaunya tanpa persetujuan orang-orang besar (biasanya empat wazir). Pemerintahan sehari-hari dilaksanakan oleh Raja Muda. Bila orang besar meninggal, penggantinya dicari dari turunan atau keluarga terdekat yang dianggap mampu. Akan tetapi, setelah ada kebijakan Belanda tersebut, derajat orang besar diturunkan hanya sebagai districthoofd (pamongpraja) di bekas wilayah bapaknya. Kerajaan besar biasanya mempunyai wilayah taklukan berupa kerajaan kecil yang diperintah oleh raja atau kejeruan, sedangkan kerajaan kecil di wilayahnya sendiri yang disebut rantau atau luhak diperintah oleh seorang datuk. Selaku ornamen raja, pembesar bergelar Laksamana, Bendahara, Tumenggung, dan lain-lain, tidak berfungsi. Mereka baru berfungsi jika ditugaskan mengepalai suatu daerah dengan sebutan rijksgroten.

Pasal-pasal Politik Kontrak yang membahas kekuasaan raja berisi: (a) Pengakuan bahwa kerajaannya adalah bagian dari Hindia Belanda; (b) Kedua belah pihak (raja dan Belanda) harus mentaati isi perjanjian; (c) Hak mengenai hukum adat dan hukum Islam maupun hal-hal yang tidak disebutkan dalam Politik Kontrak sepenuhnya menjadi wewenang raja; (d) Pembesar Belanda (kontrolir) ditempatkan di kerajaan hanya sebagai penasihat; (e) Hukuman mati dan hukuman buang hanya dilaksanakan oleh Kerapatan Raja setelah mendapat izin dari Gubernur Jenderal; (f) Raja boleh membuat peraturan sendiri (zelffbestuursder ordening); (g) Raja boleh mempunyai korp kepolisian, kehakiman, dan kejaksaan sendiri. Kerapatan Besar merupakan instansi tertinggi, dengan raja sebagai hakimnya, di samping orang-orang besar selaku anggota, dan kontrolir selaku penasihat.

Dengan adanya Pernyataan Pendek, semua perintah ambtenaar Belanda dan kontrolir di wilayah Kerajaan Melayu bisa mengubah putusan Kerapatan. Pedoman untuk kerajaan yang dipakai adalah zelfbestuursregelen tahun 1938. Sampai saat itu, di daerah Rokan dan Kampar Kiri masih ditemui pemerintahan distrik atau onderdistrik yang berdasarkan adat, karena dipengaruhi oleh adat Minangkabau. Pemerintahannya berdasarkan negeri dan kepala negeri yang diambil dari suku yang dominan. Oleh karena itu, wilayah ini disebut “Siak dan Pelalawan tanah berajo”. Di Kampar Kiri, negeri-negeri itu bergabung dalam suatu unit. Di Hulu Serdang, Langkat, dan Deli terdapat wilayah “dusun” yang didiami sukubangsa Karo dan Simelungun (Timur). Meskipun mereka memelihara hubungan perkauman dengan saudara-saudaranya di Tanah Tinggi Karo dan Simalungun, tetapi mereka tunduk kepada raja-raja Melayu. Mereka yang berasal dari Batak, tetapi sudah masuk Melayu (Islam) diwakili oleh “Datuk Kepala Urung” atau Kejeruan.

Belanda berusaha membendung pengaruh Sultan Melayu yang mendorong Islamisasi (Melayunisasi) di wilayah “dusun” ini dengan menyediakan tanah Batak untuk pengembangan misi Kristen, membentuk kontrolir khusus yang disebut Controleur voor Bataksche Zaken dan peradilan di wilayah urung (dusun), yang disebut Kerapatan Dusun, Kerapatan Urung, dan Balai Kitik. Peradilan ini memperhatikan adat Batak ketika Sultan atau Datuk akan memberikan hukuman. Politik Belanda ini tercermin dalam pernyataan rahasia.

Ik acht zeen gewenscht om politikie redenen dan rechtstreekschen invloed van Sultan en onroenghoefden die allen Mohammedaan zijn, ook niet te versterken en veeleer de Batak doesoens als afzonderlijke, of ik liever zeggen als meer bjzondere eenheden te blijven beschouwen.

Berdasarkan pertimbangan politis, saya mau agar pengaruh sultan dan kepala urung yang Islam itu jangan diperkuat dan dianggaplah wilayah Batak Dusun selaku wilayah tersendiri, atau katakanlah sebagai wilayah kesatuan yang harus diperlakukan khusus sekali (Memorie v. Overgave Residen Deli-Serdang S.v.d. Plas 2 Juni 1913).

Kesatuan hukum terkecil di Melayu di samping keluarga ialah kampong yang dulu cukup otonom. Akan tetapi akibat tekanan dari pusat (raja dan datuk), dan terakhir karena datangnya berbagai elemen asing, fungsi kepala kampung kemudian hanya sekadar sebagai pesuruh raja atau kekuasaan sentral dan tidak lagi menjadi wakil masyarakat kampung (Meyenfeldt, t.t.).

Seperti disebutkan di atas, orang-orang besar (Landsgroten dan Rijksgroten) pada kerajaan yang berkontrak politik adalah anggota dari kerajaan besar. Jadi, bila raja dari kerajaan dengan pernyataan pendek tergabung dalam suatu kerajaan besar, maka mereka bergiliran menjadi ketua sidang, misalnya kerajaan di Batubara, Labuhan Batu, Rokan, dan Kampar di Pelalawan. Kepala Distrik (Raja Lela Putra, Datuk Laksamana, Datuk Kampar) juga mempunyai kekuatan hukum, demikian juga para bendahara dan khalifah di Rokan dan Kampar. Kerapatan umumnya sulit membedakan hukum sipil dan hukum pidana. Oleh karena itu, jaksa hadir dalam sidang perkara perdata (sipil) dan perkara pidana. Adapun pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kerajaan hanya bisa diadili di pengadilan gubernemen (landraad).

Pada beberapa Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, soal yang menyangkut peradilan agama Islam juga dilaksanakan di Kerapatan, setelah mendengar nasihat atau usul tertulis dari Mufti atau Kadhi kerajaan. Sejak tahun 1928, Raja Serdang menumbuhkan “Majelis Syar‘i Kerajaan Serdang” berdasarkan tauliah (perintah) dari raja dengan mengambil alih salah satu hak raja (selaku ulil amry dan imam agama Islam). Majelis ini mempunyai ketua dan anggota sebagai instansi tertinggi yang memutuskan perkara agama Islam seperti menikah, talak, rujuk, pusaka, harta baitul mal, penentuan puasa dan hari raya, zakat mal dan zakat fitrah untuk fakir miskin, dan urusan pengangkatan kadhi, serta sekolah (maktab) agama Islam di kerajaan.

Pada umumnya Kerapatan memutuskan hukuman berdasarkan adat-istiadat, hukum Islam, dan kebiasaan, sepanjang tidak bertentangan dengan sendi-sendi kepatutan dan keadilan yang umum diakui (volgens de godsdienstige wetten, volksinstellingen en gebruiken, die niet instrijd zijn met algemeen erkende beginselen van billijkheid en rechtvaardigheid), sedangkan dalam masalah pidana yang dijadikan pedoman adalah KUHP.



  1. Kerajaan-Kerajaan Melayu Tua
  2. Pertentangan Aceh, Portugis, dan Imperium Melayu
  3. Lahirnya Kerajaan Di Pesisir Sumatera Timur
  4. Negeri-Negeri Batubara
  5. Wilayah Rokan Dan Timbulnya Perang Padri
  6. Pertentangan antara Inggeris dan Belanda
  7. Agresi Belanda Ke Sumatera Timur
  8. Reaksi Atas Pembukaan Tanah Perkebunan Di Deli
  9. Sistem Pemerintahan di Sumatera Timur
  10. Situasi Beberapa Kerajaan Di Sumatera Timur
  11. Sistem Peradilan Kerajaan Melayu Jaman Belanda
  12. Orang Melayu Dan Rajanya

Sumber: Khalik News


Posting Komentar

0 Komentar