Oleh T. Luckman Sinar Basyarsyah II
Pada tahun 1717 Raja Kecil meresmikan Pemerintahan Suku di Batubara. Penduduknya adalah pendatang dari Minangkabau, tetapi adat yang matriarchat diganti dengan adat Melayu pesisir yang parental. Kenyataannya, pembagian empat suku di Batubara hanya sebagai pembagian teritorial saja. Pada mulanya ada empat suku, tetapi kemudian bertambah satu hingga berjumlah lima suku, yaitu Suku Lima Laras, Tanah Datar, Pesisir, Limapuluh, dan Boga. Masing-masing daerah dikepalai seorang datuk yang dikoordinir oleh seorang bendahara dari Siak. Datuk kepala suku membentuk dewan. Dewan ini memilih anggota suku untuk jabatan seorang syahbandar yang dipilih dari Suku Tanah Datar; seorang jurutulis, yang dipilih dari Suku Limapuluh; seorang mata-mata yang dipilih dari Suku Lima Laras; dan seorang mengulu batang, yang dipilih dari Suku Pesisir.
Dewan ini sekaligus sebagai wadah untuk saling mengawasi. Sistem pemerintahan di Batubara mengandung unsurunsur demokrasi. Setiap datuk suku dipilih oleh para Tungkat (kepala kampung) dari turunan datuk yang cukup memenuhi syarat. Para Tungkat pun dipilih oleh para tetua kampung.
Di wilayah Suku Boga ada dua orang yang memperebutkan kedudukan, yaitu Datuk Tumenggung dan Datuk Indra Muda. Datuk Tumenggung memperoleh cap (regalia) dari Siak dan Datuk lndra Muda mendapat cap dari Tengku Besar Pelalawan. Kemudian Asahan ikut campur tangan dan mengusir kedua datuk tersebut dari Batubara. Negeri-negeri yang berada di Batubara adalah sebagai berikut.
Siak
Pada tahun 1717 Raja Kecil Siak berhasil menduduki singgasana Imperium Melayu Riau-Johor dengan jalan menurunkan Sultan Johor, Tun Habib Abdul Majid, ke jabatan semula yaitu menjadi bendahara. Putra Raja Sulaiman berhasil membuat sumpah setia untuk bekerja sama dengan empat daeng dari Bugis. Kemudian mereka berhasil mengenyahkan Raja Kecil yang berulang kali berusaha menghadapi orang Bugis, terakhir pada tahun 1737. Akan tetapi kerjasama Bugis-Melayu tidak selamanya berjalan mulus. Raja Sulaiman juga meminta bantuan kepada VOC dengan janji akan menyerahkan Siak kepada Belanda dengan akta tertanggal 14 Desember 1745. Bantuan VOC tersebut dimaksudkan untuk menertibkan Siak.
Sementara itu di Siak terjadi pertikaian antara dua putra Raja Kecil, yaitu Raja Alam dan Raja Muhammad. Raja Muhammad dibantu oleh VOC dengan menempatkan satu detasemen tentara di Pulau Guntung di bawah pimpinan Letnan Daniel Poppel pada bulan Maret 1755. Satu eskader Belanda dapat mengusir Raja Alam dan menempatkan Raja Muhammad sebagai Raja Siak. Akan tetapi Raja Muhammad tidak lama bersekutu dengan Belanda, karena Raja Muhammad merampas kapal Belanda di Selat Melaka. Dengan alasan bahwa Raja Muhammad mengepalai bajak laut, maka Belanda bekerja sama dengan Raja Alam mengusirnya. Akibat pengkhianatan Belanda ini Raja Muhammad menyerang Pulau Guntung dan berhasil membunuh semua detasemen Belanda pada tanggal 6 November 1759 (Netschen, 1870).
Raja Muhammad mangkat pada tahun 1760. Kesempatan ini dipergunakan Belanda untuk mengakui Raja Alam sebagai Raja Siak disertai dengan penandatanganan perjanjian pada tanggal 16 Januari 1761. Perjanjian itu menetapkan bahwa Belanda berhak memonopoli perdagangan untuk mengganti kerugian Belanda akibat peristiwa Pulau Guntung. Rakyat Siak dan orang-orang besarnya terus menentang Belanda, sehingga terjadi pertempuran antara Siak dengan Belanda. Akan tetapi perlawanan Siak dapat dipatahkan Belanda di Hamparan pada tanggal 17 Juni 1761. Raja Ismail, putra dan pengganti Raja Muhammad beserta keluarga dan pembesar Siak menyingkir ke Pelalawan, kemudian ke Langkat.
Raja Alam mangkat pada tahun 1766 dan digantikan oleh putranya, Sultan Muhammad Ali. Sementara itu Raja Ismail dan pengikutnya bermarkas di Sungai Rokan dan berulang kali menyerang Siak, tetapi tidak berhasil. Mereka baru berhasil pada bulan Agustus 1778. Muhammad Ali menyerah, kemudian diangkat menjadi Raja Muda Siak. Putra dan pengganti Sultan Ismail adalah Sultan Yahya (1781) yang masih di bawah umur, sehingga pemerintahan dipangku oleh Raja Muhammad Ali. Pada masa itu Siak mengirim tuan besar Habib Umar Assagaf untuk memperbarui perjanjian Siak dengan VOC di Melaka yang diresmikan pada tanggal 13 Februari 1783. Sultan Yahya merupakan orang yang lemah, sehingga di istana banyak terjadi intrik.
Salah seorang yang menentang Sultan Yahya adalah Said Ali, putra Said Usman. Ketika Mangkubumi Muhammad Ali meninggal, Said Ali makin berani dan merebut tahta Sultan Yahya dan bergelar Sultan Abdul Jalil Syaifuddin. Said Ali kemudian bersahabat dengan Belanda. Sultan Abdul Jalil Syaifuddin berhasil menegakkan kembali wibawa Siak terhadap beberapa negeri di Sumatera Timur. Saudaranya, Tengku Said Abdurrahman memerintah di Pelalawan, dan saudaranya yang lain, Tengku Busu alias Said Ahmad dijadikan Tengku Panglima dan penguasa di Tebing Tinggi.
Pada tahun 1818 Sultan Said Ali turun tahta dan menaikkan putranya, Said Ibrahim, menjadi Sultan Abdul Jalil Khaliluddin Syah. Sultan Ibrahim membuat kontrak dengan Mayor Faguar dan John Anderson pada tahun 1823.
Karena gila, Sultan Ibrahim diturunkan dari tahta pada tahun 1827 dan digantikan oleh putra Said Ahmad yang bernama Tengku Said Muhammad. Tengku Said Muhammad menikah dengan putri Sultan Ali yang bernama Tengku Mandak. Pernikahan dapat terlaksana berkat bantuan Tengku Besar Said Hasyim Pelalawan yang merangkap menjadi Raja Muda Siak, dengan perjanjian bahwa raja yang akan datang adalah Tengku Said Ismail, putra Sultan Said Muhammad.
Pada tahun 1840, Tengku Said Ismail menjadi Sultan Siak. Pemerintahannya ditandai dengan banyaknya negeri di Sumatera Timur yang diambil alih Aceh. Tiba-tiba kekuasaan Sultan Ismail direbut oleh iparnya, Tengku Uda (Do), dan kemudian oleh Raja Muda Tengku Putra, sehingga Sultan Ismail terpaksa meminta bantuan petualang Inggris, Wilson. Sementara itu Belanda mencoba ikut campur tangan di Siak dengan memaksakan Sultan Ismail menandatangani kontrak politik pada tahun 1858. Akibatnya Belanda semakin berkuasa di Siak.
Pelalawan (Kampar)
Dalam perjanjian tahun 1811 antara Siak dengan Pelalawan ditetapkan bahwa Kerajaan Pelalawan berdiri sendiri dan diperintah oleh seorang sultan yang disebut Tengku Besar Abdurrahman. Jika di Siak terjadi kekosongan pemerintahan, Tengku Besar Pelalawan yang merangkap Raja Muda Siak berhak menunjuk pengganti Raja Siak di antara keturunan Said Ali dan Tengku Busu.
Pada waktu Tengku Ismail berkuasa di Siak, putra tertua Said Abdurrahman, Said Hasyim menjadi Tengku Besar Pelalawan (1821). Said Hasyim meninggal dunia pada tahun 1844 tanpa keturunan, sehingga pemerintahan digantikan oleh adiknya, Said Hamid.
Pada masa selanjutnya terjadi perselisihan tentang siapa yang berhak menjadi sultan. Adik-adik Said Hamid yang lain ingin menjadi sultan secara bergiliran, sedangkan Said Hamid menginginkan yang menjadi sultan adalah putranya, Tengku Kesuma Yudo. Keadaan ini mendorong Said Hamid berhubungan dengan Belanda dengan perantara Siak. Sebelum Belanda campur tangan, Said Hamid meninggal pada tahun 1865. Adiknya, Said Jaafar menjadi penggantinya dan pemerintahan sehari-hari berada di tangan adik bungsunya, Said Abubakar. Keadaan tersebut menimbulkan peselisihan lagi. Perselisihan berawal ketika Jaafar menginginkan penggantinya kelak adalah putranya, sedangkan Said Abubakar juga memiliki ambisi yang sama.
Pada tahun 1873 Said Jaafar meninggal dan digantikan oleh Said Abubakar. Pada tahun 1877 Said Abubakar berhubungan dengan Belanda dengan syarat putranya, Tengku Sentul, akan menjadi penggantinya. Belanda menyetujui persyaratan tersebut.
Sumber: Khalik News
Dewan ini sekaligus sebagai wadah untuk saling mengawasi. Sistem pemerintahan di Batubara mengandung unsurunsur demokrasi. Setiap datuk suku dipilih oleh para Tungkat (kepala kampung) dari turunan datuk yang cukup memenuhi syarat. Para Tungkat pun dipilih oleh para tetua kampung.
Di wilayah Suku Boga ada dua orang yang memperebutkan kedudukan, yaitu Datuk Tumenggung dan Datuk Indra Muda. Datuk Tumenggung memperoleh cap (regalia) dari Siak dan Datuk lndra Muda mendapat cap dari Tengku Besar Pelalawan. Kemudian Asahan ikut campur tangan dan mengusir kedua datuk tersebut dari Batubara. Negeri-negeri yang berada di Batubara adalah sebagai berikut.
Siak
Pada tahun 1717 Raja Kecil Siak berhasil menduduki singgasana Imperium Melayu Riau-Johor dengan jalan menurunkan Sultan Johor, Tun Habib Abdul Majid, ke jabatan semula yaitu menjadi bendahara. Putra Raja Sulaiman berhasil membuat sumpah setia untuk bekerja sama dengan empat daeng dari Bugis. Kemudian mereka berhasil mengenyahkan Raja Kecil yang berulang kali berusaha menghadapi orang Bugis, terakhir pada tahun 1737. Akan tetapi kerjasama Bugis-Melayu tidak selamanya berjalan mulus. Raja Sulaiman juga meminta bantuan kepada VOC dengan janji akan menyerahkan Siak kepada Belanda dengan akta tertanggal 14 Desember 1745. Bantuan VOC tersebut dimaksudkan untuk menertibkan Siak.
Sementara itu di Siak terjadi pertikaian antara dua putra Raja Kecil, yaitu Raja Alam dan Raja Muhammad. Raja Muhammad dibantu oleh VOC dengan menempatkan satu detasemen tentara di Pulau Guntung di bawah pimpinan Letnan Daniel Poppel pada bulan Maret 1755. Satu eskader Belanda dapat mengusir Raja Alam dan menempatkan Raja Muhammad sebagai Raja Siak. Akan tetapi Raja Muhammad tidak lama bersekutu dengan Belanda, karena Raja Muhammad merampas kapal Belanda di Selat Melaka. Dengan alasan bahwa Raja Muhammad mengepalai bajak laut, maka Belanda bekerja sama dengan Raja Alam mengusirnya. Akibat pengkhianatan Belanda ini Raja Muhammad menyerang Pulau Guntung dan berhasil membunuh semua detasemen Belanda pada tanggal 6 November 1759 (Netschen, 1870).
Raja Muhammad mangkat pada tahun 1760. Kesempatan ini dipergunakan Belanda untuk mengakui Raja Alam sebagai Raja Siak disertai dengan penandatanganan perjanjian pada tanggal 16 Januari 1761. Perjanjian itu menetapkan bahwa Belanda berhak memonopoli perdagangan untuk mengganti kerugian Belanda akibat peristiwa Pulau Guntung. Rakyat Siak dan orang-orang besarnya terus menentang Belanda, sehingga terjadi pertempuran antara Siak dengan Belanda. Akan tetapi perlawanan Siak dapat dipatahkan Belanda di Hamparan pada tanggal 17 Juni 1761. Raja Ismail, putra dan pengganti Raja Muhammad beserta keluarga dan pembesar Siak menyingkir ke Pelalawan, kemudian ke Langkat.
Raja Alam mangkat pada tahun 1766 dan digantikan oleh putranya, Sultan Muhammad Ali. Sementara itu Raja Ismail dan pengikutnya bermarkas di Sungai Rokan dan berulang kali menyerang Siak, tetapi tidak berhasil. Mereka baru berhasil pada bulan Agustus 1778. Muhammad Ali menyerah, kemudian diangkat menjadi Raja Muda Siak. Putra dan pengganti Sultan Ismail adalah Sultan Yahya (1781) yang masih di bawah umur, sehingga pemerintahan dipangku oleh Raja Muhammad Ali. Pada masa itu Siak mengirim tuan besar Habib Umar Assagaf untuk memperbarui perjanjian Siak dengan VOC di Melaka yang diresmikan pada tanggal 13 Februari 1783. Sultan Yahya merupakan orang yang lemah, sehingga di istana banyak terjadi intrik.
Salah seorang yang menentang Sultan Yahya adalah Said Ali, putra Said Usman. Ketika Mangkubumi Muhammad Ali meninggal, Said Ali makin berani dan merebut tahta Sultan Yahya dan bergelar Sultan Abdul Jalil Syaifuddin. Said Ali kemudian bersahabat dengan Belanda. Sultan Abdul Jalil Syaifuddin berhasil menegakkan kembali wibawa Siak terhadap beberapa negeri di Sumatera Timur. Saudaranya, Tengku Said Abdurrahman memerintah di Pelalawan, dan saudaranya yang lain, Tengku Busu alias Said Ahmad dijadikan Tengku Panglima dan penguasa di Tebing Tinggi.
Pada tahun 1818 Sultan Said Ali turun tahta dan menaikkan putranya, Said Ibrahim, menjadi Sultan Abdul Jalil Khaliluddin Syah. Sultan Ibrahim membuat kontrak dengan Mayor Faguar dan John Anderson pada tahun 1823.
Karena gila, Sultan Ibrahim diturunkan dari tahta pada tahun 1827 dan digantikan oleh putra Said Ahmad yang bernama Tengku Said Muhammad. Tengku Said Muhammad menikah dengan putri Sultan Ali yang bernama Tengku Mandak. Pernikahan dapat terlaksana berkat bantuan Tengku Besar Said Hasyim Pelalawan yang merangkap menjadi Raja Muda Siak, dengan perjanjian bahwa raja yang akan datang adalah Tengku Said Ismail, putra Sultan Said Muhammad.
Pada tahun 1840, Tengku Said Ismail menjadi Sultan Siak. Pemerintahannya ditandai dengan banyaknya negeri di Sumatera Timur yang diambil alih Aceh. Tiba-tiba kekuasaan Sultan Ismail direbut oleh iparnya, Tengku Uda (Do), dan kemudian oleh Raja Muda Tengku Putra, sehingga Sultan Ismail terpaksa meminta bantuan petualang Inggris, Wilson. Sementara itu Belanda mencoba ikut campur tangan di Siak dengan memaksakan Sultan Ismail menandatangani kontrak politik pada tahun 1858. Akibatnya Belanda semakin berkuasa di Siak.
Pelalawan (Kampar)
Dalam perjanjian tahun 1811 antara Siak dengan Pelalawan ditetapkan bahwa Kerajaan Pelalawan berdiri sendiri dan diperintah oleh seorang sultan yang disebut Tengku Besar Abdurrahman. Jika di Siak terjadi kekosongan pemerintahan, Tengku Besar Pelalawan yang merangkap Raja Muda Siak berhak menunjuk pengganti Raja Siak di antara keturunan Said Ali dan Tengku Busu.
Pada waktu Tengku Ismail berkuasa di Siak, putra tertua Said Abdurrahman, Said Hasyim menjadi Tengku Besar Pelalawan (1821). Said Hasyim meninggal dunia pada tahun 1844 tanpa keturunan, sehingga pemerintahan digantikan oleh adiknya, Said Hamid.
Pada masa selanjutnya terjadi perselisihan tentang siapa yang berhak menjadi sultan. Adik-adik Said Hamid yang lain ingin menjadi sultan secara bergiliran, sedangkan Said Hamid menginginkan yang menjadi sultan adalah putranya, Tengku Kesuma Yudo. Keadaan ini mendorong Said Hamid berhubungan dengan Belanda dengan perantara Siak. Sebelum Belanda campur tangan, Said Hamid meninggal pada tahun 1865. Adiknya, Said Jaafar menjadi penggantinya dan pemerintahan sehari-hari berada di tangan adik bungsunya, Said Abubakar. Keadaan tersebut menimbulkan peselisihan lagi. Perselisihan berawal ketika Jaafar menginginkan penggantinya kelak adalah putranya, sedangkan Said Abubakar juga memiliki ambisi yang sama.
Pada tahun 1873 Said Jaafar meninggal dan digantikan oleh Said Abubakar. Pada tahun 1877 Said Abubakar berhubungan dengan Belanda dengan syarat putranya, Tengku Sentul, akan menjadi penggantinya. Belanda menyetujui persyaratan tersebut.
- Kerajaan-Kerajaan Melayu Tua
- Pertentangan Aceh, Portugis, dan Imperium Melayu
- Lahirnya Kerajaan Di Pesisir Sumatera Timur
- Negeri-Negeri Batubara
- Wilayah Rokan Dan Timbulnya Perang Padri
- Pertentangan antara Inggeris dan Belanda
- Agresi Belanda Ke Sumatera Timur
- Reaksi Atas Pembukaan Tanah Perkebunan Di Deli
- Sistem Pemerintahan di Sumatera Timur
- Situasi Beberapa Kerajaan Di Sumatera Timur
- Sistem Peradilan Kerajaan Melayu Jaman Belanda
- Orang Melayu Dan Rajanya
Sumber: Khalik News
0 Komentar